Kamis, 16 Agustus 2012

Munasabah al Qur'an


KORELASI AL QURAN

  1. Pendahuluan
Pengumpulan  al-Qur’an  pada  masa  Abu  Bakar  dikarenakan  beliau  gelisah oleh  kenyataan  bahwa  dalam  pertempuran  di  Yammah,  yaitu  ‘perang  kemurtadan’ (riddah)  banyak  penghafal  al-Qur’an  yang  mati  terbunuh.  Karena  mereka  adalah orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Qur’an dalam hati mereka, Umar khawatir jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Qur’an yang akan hilang dan tak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu karena  ia  merupkan  mantan  juru  tulis  Nabi  Muhammad.  Setelah  Abu  Bakar  wafat penulisan  al-Qur’an  dilanjutkan  oleh  sahabat-sahabat  Nabi  lainnya.
Mengenai  tertib  surat  terdapat  perbedaan  pendapat  dikalangan  Ulama  Salaf, ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat[1].
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi atau persesuaian kandungan Al-Qur’an kurang mendapat        perhatian mendalam dari para Ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Oleh karena itu makalah ini berupaya  mengetengahkan  mengenai  munasabah  yang  mencakup: pengertian munasabah,  sejarah perkembangan  munasabah,  eksistensi  munasabah,  macam-macam munasabah serta urgensi munasabah.

  1. PEMBAHASAN
Menurut  bahasa  munasabah  berarti  al-musyâkalah  dan  al-muqarabah yang berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
Secara etimologis,munasabah menurut Manna Al-Qaththan berarti keterkaiatan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.[2]. Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu al-Qur’an sesuai dengan pengertian menurut bahasa di atas adalah segi-segi hubungan atau   persesuaian   al-Qur’an   antara  bagian   demi  bagian   dalam   berbagai   bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain.
 Sedangkan  yang  dimaksud  dengan  bagian  demi  bagian  ialah  semisal  antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surah dengan akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang lain dan begitulah seterusnya hingga  benar-benar  tergambar  bahwa  al-Qur’an  itu  merupakan  satu  kesatuan  yang utuh dan menyeluruh[3].
Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, diantara ciri gubahan suatu bahasa  yang  layak  dikategorikan  baik  dan  indah  ialah  manakala  rangkaian  susunan kata  demi  kata,  kalimat  demi  kalimat,  alenia  demi  alenia  dan  seterusnya  memiliki keterkaitan atau hubungan sedemikian rupa sehingga menggambarkan satu kesatuan yang   tidak   pernah   terputus[4]. al-Qur’an   sangat   memenuhi persyaratan  yang  ditetapkan  para  pujangga  itu,  mengingat  keseluruhan  al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf,itu seperti yang ditegaskan al-Qurthubi laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisahkan[5]. Satu hal yang patut ditegaskan ialah bahwa kesatuan  al-Qur’an  terjadi  sama  sekali  bukan  karena  dipaksakan  melainkan  bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian dengan bagiannya.
Jadi  munasabah  adalah  ilmu  yang  mempelajari  tentang  hikmah  korelasi urutan   ayat   al-Quran,   atau   usaha   pemikiran   manusia   untuk   menggali   rahasia hubungan  antar  ayat  atau  surat  yang  dapat  diterima  oleh  akal.  Melalui  ilmu ini diharapkan  rahasia  Ilahi  dapat  terungkap  dengan  jelas  yang  mampu  menjawab sanggahan yang selalu meragukan keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

B.  Sejarah Perkembangan Munasabah
Tercatat  dalam  sejarah  bahwa  Imam  Abu  Bakar  al-Naisaburi sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Menurut al-Suyuthi sebagaimana  dikutip  oleh  Ramli  Adbdul  Wahid  dalam  bukunya  yang berjudul  Ulumul  Qur’an,  orang  pertama  yang  melahirkan  ilmu  munasabah  adalah Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi. Apabila al-Qur’an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan  di  samping  surat  sebelahnya.  Bahkan  ia  mencela  para  ulama  Bagdad karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah[6].
Terdapat   beberapa   istilah   yang   dikemukakan   para   mufassir   mengenai munasabah.   Ar-Razi   menggunakan   istilah   ta’alluq   sebagai   sinonimnya.   Sayyid Quthub  menggunakan  lafal  irtibath  sebagai  pengganti  kata  munasabah.  Sedangkan Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu al-ittishal dan at-ta’lil. Al-Alusi menggunakan istilah yang hampir sama dengan istilah yang digunakan Sayyid Quthb, yakni tartib[7].

C.  Eksistensi Munasabah
Para  ulama  sepakat  bahwa  tertib  ayat-ayat  dalam  Al-Qur’an  adalah  tauqifi (tergantung  pada  petunjuk  Allah  dan  Nabi-Nya). Mengenai  tertib  surat-surat  Al-Qur’an  mayoritas  ulama  berpendapat  bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai pada mushhaf yang sekarang adalah  tauqifi.  Pendapat  ini  didasarkan  atas  keadaan  Nabi  SAW.  yang  setiap  tahun melakukan mu’aradhah (memperdengarkan bacaannya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib surat yang sama kepada kita jumpai sekarang.
Adapun sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Qur’an masuk dalam masalah ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama mushaf pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al- Qur’an  berbeda  dengan  tertib  surat  yang  terdapat  dalam  al-Qur’an.  Ketiga  adanya perbedaan  pendapat  dalam  masalah  tertib  surat  al-Qur’an  ini  menunjukkan  tidak adanya  petunjuk  yang  jelas  atas  tertib  yang  dimaksud.  Selain  itu  ada  pula  yang berpendapat  bahwa  sebagiannya  tauqifi  dan  lainnya  ijtihadi.  Pendapat  ini  juga mengajukan  beberapa  alasan.  Menurut  pendapat  ini,  tidak  semua  nama  surat  al- Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW. dan lainnya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al-Baqarah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya sama dengan surat sebelumnya,  surat  Al-Anfal.  Nabi  tidak  sempat  menjelaskan  tempat  surat  tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya-kata usman-meletakkannya setelah surat Al-Anfal.
Meski  ketiga  pendapat  diatas  memiliki  alasan,  tetapi  alasan-alasan  yang dikemukankan  itu  tidak  semuanya  memiliki  tingkat  keabsahan  yang  sama.  Alasan pendapat  yang  mengatakan  tertib  surat  sebagai  ijtihadi  tampak  tidak  kuat.  Riwayat tentang  sebagian  sahabat  pernah  mendengar  Nabi  membaca  Al-Qur’an  berbeda dengan  tertib  mushaf  yang  sekarang  dan  adanya  cacatan  mushaf  sahabat  yang berbeda  bukanlah  riwayat  mutawatir.  Tertib  mushhaf  sekarang  berdasarkan  khabar mutawatir.
Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf   itu   hadir   bersama   Nabi   setiap   saat   turun   ayat   al-Qur’an.   Karena   itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagian surat tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi tidak kuat.  Keterangan  bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat Al-Baraah sehingga Usman menempatkannya setelah surat Al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik  dari segi sanad maupun matan. Sebab periwayat,  Yazid  pada sanadnya dinilai majhul  oleh  Al-Bukhari  dan  Ibn  Katsir.  Dari  segi  matan  juga  riwayat  ini  lemah karena  Nabi  wafat  tiga  tahun  setengah  setelah  turunnya  surat  Al-Baraah.
  Tentunya dalam   rentang   waktu   demikian   panjang sulit   dibayangkan   Nabi   tidak   sempat menjelaskan letak sebuah surat, sedangkan Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril. Sementara itu riwayat tentang mu’aradhah Nabi akan bacaanya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat yang shahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari kedua pendapat lainnya[8].
Akan tetapi menurut sebagian ulama tetap berkeyakinan bahwa hubungan al- Qur’an  antara  bagian  demi  bagian  dan  ayat  demi  ayat  serta  surat  demi  surat  pasti dapat  ditelusuri.  Karena  az-Zarkasyi  juga  mengatakan  bahwa  munasabah  tergolong ke  dalam  yang  bersifat  rasional  dan  akan  terjangkau  oleh  akal  manakala  diserahi tugas   itu.   Berbagai   hubungan   antara   pembuka-pembuka   surat   dan   penutup- penutupnya,   demikian   pula   dengan   perujukan   kepada   makna   apa   pun   yang menghubungkan antara keduanya; apakah itu berdasar pendekatan ‘am dan khas, aqli maupun  hissi  dan  bahkan  hayali  serta  hubungan-hubungan  yang  lain-lainnya.  Bisa juga   dilakukan   dengan   pendekatan   hubungan   saling   keterkaitan   yang   bersifat penalaran, sebagaimana  hubungan  sebab-musabbab,  illat  dan  ma’lul,  an-nazhirain dan lain-lain[9].
Terlepas  dari  kontropersi  pendapat  tentang  keberadaan  munasabah,  ilmu  ini termasuk  yang  kurang  mendapat  perhatian  dari  para  mufassir.  Buku-buku  Ulumul Qur’an,  terutama  buku-buku  dalam  bahasa  Indonesia  janrang  memuat  bahasan  ini. Sebab,  ilmu  munasabah-sebagaimana  ditegaskan  oleh  al-Suyuthi  –termasuk  ilmu yang rumit.

D.  Macam-macam Munasabah
a.   Macam-macam Sifat Munasabah
Ditinjau dari segi sifatnya munasabah atau   keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
1.                  Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu  persesuaian  antara  bagian  al-Qur’an  yang  satu  dengan  yang  lain  tampak jelas  dan  kuat,  kerena  kaitan  kalimat  yang  satu  dengan  yang  lain  erat  sekali sehingga  tidak  bisa  menjadi  kalimat  yang  sempurna,  jika  dipisahkan  dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang  ayat  yang  satu  itu  berupa  penguat,  penafsir,  penyambung, penjelasan,  pengecualian  atau  pembatasan  dari  ayat  yang  lain,  sehingga  semua ayat-ayat  tersebut  tampak  sebagai  satu  kesatuan  yang  sama.  Contohnya,  seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra:
Artinya: Maha Suci Allah, yang memperjuangkan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (al-Isra’: 1)
Ayat  tersebut  menerangkan  Isra’  Nabi Muhammad  SAW.  selanjutnya,  ayat  2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
Artinya: Dan  kami  berikan  kepada  Musa  Kitab  (Taurat)  dan  Kami  jadikan  kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.” (al-Isra’ : 2)
Ayat yang pertama berbicara tentang perjalanan isra’ Nabi Muhammad Saw; sedangkan   ayat   kedua  berbicara  tentang   penurunan   Taurat   kepada  Musa.   Segi penghubungnya,  kata  az-Zarkasyi,  pada ayat  pertama,  Allah  menampilkan  hal yang ghaib   (perjalanan   isra’),   kemudian   diikuti   informasi   serupa   (sama-sama   ghaib) berkenaan  dengan  hal  yang  terjadi  di  masa  lampau  guna  memperkuat  kebenaran mukjizat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang selain Nabi Muhammad Saw yakni  mukjizat  nabi  Musa  As.  Jadi,  Allah  mengibaratkan  nabi  Muhammad  Saw sebagaimana  nabi  Musa  juga  pernah  di-isra’kan  Allah  dari  Mesir  ke  Palestina  (al- Baqarah 49-50, al-Anfal 54, Yunus 90, al-Isra’ 103, as-Syu’ara 65-67), beserta bala tentaranya  dalam  suasana  yang  sangat  mencekam  dan  menakutkan[10].
2.                  Persambungan  yang  tidak  jelas  (Khafiyyul  Irtibadh)  atau  samarnya  persesuaian antara  bagian  Al-Qur’an  dengan  yang  lain,  sehingga tidak  tampak  adanya  pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri- sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya,  seperti  hubungan  antara  ayat  189  surah  al-Baqarah  dengan  ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
Artinya:Mereka  bertanya  kepadamu  tentang  bulan  tsabit.  Katakan-lah,  bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)haji
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit / tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
Artinya:Dan  perangilah  di  jalam  Allah  orang-orang  yang  memerangi  kalian,  (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat  tersebut  menerangkan  perintah  menyerang  kepada  orang-orang  yang menyerang       umat  Islam.  Sepintas,  antara  kedua  ayat  tersebut  seperti  tidak  ada hubungannya   atau   hubungan   yang   satu   dengan   yang   lainnya   samar.   Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji[11].

b.   Macam-macam Materi Munasabah
Ditinjau ari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
1.      Munasabah  antar  surah,  yaitu  munasabah  antara  surah  yang  satu  dengan  surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
a.      Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu dengan materi surah yang lain. Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah.  Keduanya  sama-sama  menerangkan  3  hal  kandunagn  Al-Qur’an, yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al- Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.
b.      Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab semua  pembukaan  surah  itu  erat  sekali  kaitannya  dengan  akhiran  dari  surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah. Contohnya, seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan  surah  Al-An’am  tersebut  sesuai  dengan  akhiran  surah  Al-Maidah yang berbunyi:
Artinya:   “Kepunyaan   Allah   kerajaan   langit   dan   bumi   dan   apa   yang   ada di dalamnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
c.       Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia  mendapatkan  dua orang laki-laki sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa:
 Artinya:“Musa   berkata:   Ya   Tuhanku,   demi   nikmat   yang   telah   Engkau anugerahkan  kepadaku,  aku  sekali-kali  tidak  akan  menjadi  penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qasas 28:17)
Kemudian  surah  ini  diakhiri  dengan  menghibur  Rasul  bahwa ia akan  keluar dari Mekah  dan  dijanjikan  akan  kembali  lagi  ke Mekah  serta melarangnya  menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir: Artinya:“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum- hukum)  Qur’an,  benar-benar  akan  mengembalikan  kamu  ketempat kembali (yaitu kota Mekah). Katakanlah: ’Tuhanku mengetahui arang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu,oleh  sebab  itu  janganlah  sekali-kali  menjadi  penolong  bagi  orang
kafir.” (al-Qasas 28 : 85-86[12]).
2.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat Dalam Satu Surat
Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
a.      Diathafkannya  ayat  yang  satu  kapada  ayat  yang  lain,  seperti  munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran:
Artinya:Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.”
Dengan ayat 102 surah Ali-Imran:
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Faedah  dari  munasabah  dengan  athaf  ini  ialah  untuk  menjadikan  dua  ayat tersebut  sebagai  dua  hal  yang  sama  (An-Nadziiraini).  Ayat  102  surah  Ali- Imran menyeruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
b.      Tidak  diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti  munasabah antara ayat 11 surah ali-Imran:
Artinya:  “(Keadaan  mereka)  adalah  sebagai  keadaan  kaum  Fir’aun  dan orang-orang  yang  sebelumnya,  mereka  mendustakan  ayat-ayat Kami.”
Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.”
Dalam  munasabah  ini,  tampak  hubungan  yang  kuat  antara  ayat  yang  kedua (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10 surah Ali- Imran),   sehingga   ayat   11   surah   Ali-Imran   itu   dianggap   sebagai   bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.
c.       Digabungkannya  dua  hal  yang  sama,  seperti  persambungan  antara  ayat  5 surah Al-Anfal:
Artinya: “Sebagaimana Tuhanmu menyeruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”
dengan ayat 4 surah Al-Anfal:
Artinya:   “Itulah   orang-orang   yang   beriman   dengan   sebenar-benarnya. Mereka   akan   memperoleh   beberapa   derajat   ketinggian   di   sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 surah Al- Anfal  itu  menerangkan  kebenaran  bahwa  Nabi  diperintah  hijrah  dan  ayat  4 surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
d.      Dikumpulkannya   dua   hal   yang   kontradiksi   (Al-Mutashaddatu).   Seperti dikumpulkan ayat 95 surah Al-A’raf:
Artinya:  “Kemudian  Kami  ganti kesusahan  itu  dengan  kesenangan   hingga keturunan   dan   harta   mereka   bertambah   banyak,   dan   mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasakan pernderitaan dan kesenangan.”
Dengan ayat 94 surah Al-A’raf:
Artinya : “Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu) melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tuduk dengan merendahkan diri.”
Ayat 94 surah Al-A’raf tersebut    menerangkan  ditimpakannya kesempitan  dan penderitaan  kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah Al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
e.      Dipindahkannya satu pembicaraan ayat 55 surah Shaad:
Artinya:“Beginilah (keadaan mereka). Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka, benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk.”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surah Shaad yang membicarakan rezeki dari para ahli surga:
Artinya : “Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dari Kami yang tiada habis-habisnya.”
3.      Munasabah antara nama surat dengan kandungannya
Nama-nama   surat   yang   ada   di   dalam   al-Qur’an   memiliki   kaitan   dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Surat al-Fatihah disebut juga umm al-kitab karena memuat berbagai tujuan al-Qur’an.
4.      Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat
Munasabah di sini bisa bertujuan:
a.      Tamkin (peneguhan). Misalnya:
Artinya: Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari perperangan. Dan Allah adalah Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab 33 : 25)
Sekiranya  ayat  ini  terhenti  pada,  Dan  Allah  menghindarkan  orang-orang Mukmin dari perperangan,” niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah sejalan  dengan  pendapat  orang-orang  kfir  yang  mengira  bahwa  mereka  mundur dari perang karena angin yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan suatu yang kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan  musuh  kaum  Muslim.  Karena  itu,  ayat  ini  ditiup  dengan  mengingatkan kekuatan  dan  kegagahan  Allah  SWT  menolong  kaum  Muslim[13].
b.      Tashdir (pengembalian). Misalnya:
Artinya:Dan  mereka  memikul  dosa-dosa  mereka  di  atas  punggung  mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu.” (QS. Al-An’am 6 : 31)
Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya sejenis dengan kata dalam ayat tersebut.
c.       Tausyih (hikmah). Misalnya:
Artinya:  “Satu   tanda   (kekuasaan   Allah)   bagi  mereka   adalah  malam.   Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Yasin 36 : 37)
Dalam permulaan  ayat ini terkandung penutupnya.  Sebab, dengan hilangnya siang   akan   timbul   kegelapan.   Ini   berarti   bahwa   kandungan   awal   ayat   telah menunjukkan adanya hikmah dibalik kejadian tersebut.
d.      Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya:
Artinya:“Sesungguhnya,   kamu   tidak   dapat   menjadikan   orang-orang   mati mendengar   dan  tidak   pula  orang-orang  tuli   mendengar  panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. Al-Naml 27 : 80)
Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan). Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi sambungan lagi sebagai penjelas tambahan.
e.      Urgensi Munasabah Pengertian   tentang   munasabah   al-Qur’an   terutama   bagi   seorang   mufasir urgen. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui  persambungan  /  hubungan  antara  bagian  al-Qur’an,  baik  antara kalimat-kalimat  atau  ayat-ayat  maupun  surah-surahnya  yang  satu  dengan  yang lain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al- Qur’an  dan  memperkuat  keyakinan  terhadap  kewahyuan  dan  kemukjizatannya. Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang   lain,   beliau   mensyaratkan   harus   jatuh   pada   hal-hal   yang   betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya[14]. Mempermudah  pemahaman  al-Qur’an.  Misalnya  ayat  enam  dari  surat  Al- Fatihah  yang  artinya,  “Tujukilah  kami  kepada  jalan  yang  lurus  disambung dengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari Allah SWT.
2.      Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena  penempatan  surat  al-Fatihah  pada  awal  Mushhaf  sehingga  surat  inilah yang  pertama  dibaca.  Padahal,  dalam  sejarah,  lima  ayat  dari  surat  al-‘Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan  petunjuk  al-Kitab  sebagai  pedoman  menuju  jalan  uang  lurus.  Dengan demikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya,  al-Baqarah.  Dengan  mengemukakan  munasabah  tersebut,  ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam[15].
3.                  Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta  persesuaian  ayat  /  surahnya  yang  satu  dari  yang  lain,  sehingga  lebih menyakinkan  kemukjizatannya,  bahwa  al-Qur’an  itu  benar-benar  wahyu  dari Allah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalal dalam  bukunya  menambahkan  Imam  Fakhruddin  al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan  penyesuaiannya,  sedangkan  susunan  kalimat  yang  paling  bersetara adalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya[16].
Sebagaimana  yang  dinyatakan  oleh  ahli  ulumul  Qur’an  diantaranya  adalah Abu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalah ilmu  yang  baik  (ilmun  hasanun),  ilmu  mulia  (ilmun  syarifun),  ilmu  yang  agung (ilmun  adzimun).  Dari  semua  julukan  ini  menandakan  bahwa  ilmu  munasabah mendapat   tempat   dan   penghargaan   yang   cukup   tinggi   atau   peran   yang   cukup signifikan   dalam   memahami   dan   menafsirkan   al-Qur’an.   Sehingga   az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan seorang mufassir[17]. Kedudukan   ilmu   ini   semakin   terasa   kebutuhannya   manakalah   seseorang menafsirkan  al-Qur’an  menggunakan  metode  tafsir  al-maudhu’i  (tematik)  atau  al- muqaran  (komparasi),  karena  metode  ini  memperhatikan  keterkaitan  (munasabah) antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis.
Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke  dalam  kelompok  ilmu-ilmu  ijtihadi  yang  karenanya  bersifat  penalaran.  Sebagai ilmu   ijtihadi   ilmu   ini   sangat   berpeluang   untuk   dikembangkan   dalam   upaya memperkaya  dan  memperkuat  penafsiran  al-Qur’an,  yaitu  dengan  cara  mencari hubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.(Amin Suma, 2004: 148)

  1. KESIMPULAN
Munasabah   ialah   cabang   dari   ilmu   Ulumul   Qur’an   yang   membahas persesuaian  atau  korelasi  antara  ayat  dengan  ayat  atau  surah  dengan  surah  maupun surah dengan ayat didalam al-Qur’an.Terlepas   dari   kontropersi   tentang   keberadaan   munasabah   yang   kurang mendapat  perhatian  dari  para  muffasir,  penulis  sangat  tertarik  karena  mempelajari munasabah  dapat  mempermudah  memahami  dan  memaknai  hal-hal  yang  tersirat didalam            al-Qur’an sehingga bagian-bagia dari           al-Qur’an nampak saling berhubungan  menjadi  satu  rangkaian  yang  utuh  selain  itu  juga  dapat  mempertebal keyakinan dan keimanan kita akan Kebesaran Illahi.




















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an Karim

Al-Abyari, Ibrahim Sejarah al-Qur’an Bina Utama, Semarang. 1993.

Al-Qathathan, Manna’ Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi, Beirut. 1973.

Anwar, Rosihan Ulumul Qur’an. Pustaka Setia, Bandung. 2000.

Az-Zarkasyi Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Darul Mathabah, Beirut. 1988.

Djajal, Abdul Ulumul Qur’an. Dunia Ilmu, Surabaya. 1998.

Izzan,  Ahmad  Ulumul  Qur’an  Telaah  Tekstualitas  dan  Kontekstualitas  al- Qur’an. Tafakur, Bandung. 2005.  

Halimuddin  Pembahasan Ilmu al-Qur’an. Rineka Cipta, Jakarta. 1993.

Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Lintera Antar Nusa, Jakarta. 1992.

Suma, Muhammad Amin Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Pustaka Firdaus, Jakarta. 2004.

Wahid,  Ramli  Abdul Ulumul  Qur’an  Edisi  Revisi.  Raja  Grafindo  Persada, Jakarta. 1992.  


[1]  Ibrahim Al Abyari Sejarah al-Qur’an”. H. 54
[2] Manna’ Al-Qaththan Mabahits fi Ulum al-Qur’an”. H. 94
[3] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an H. 144
[4] Az-Zarkasyi,Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an H. 66   
[5] Amin, ibid. H. 145
[6]  Ramli Abdul Wahid Ulumul  Qur’an  Edisi  Revisi H.91
[7]  Ahmad Izzan Ulumul  Qur’an  Telaah  Tekstualitas  dan  Kontekstualitas  al- Qur’an H. 189
[8]  Ramli Abdul Wahid  Ulumul  Qur’an  Edisi  Revisi  H. 92
[9] Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an H. 65

[10] Az-Zarkasyi, ibid.
[11] Abdul Djalal Ulumul Qur’an H. 157
[12] Al-Qattan Terj. Mudzakir H. 144
[13]  Rosihan  Anwar  Ulumul Qur’an H. 92
[14] Az Zarkasyi, ibid.
[15] Ramli Abdul Wahid, Ulumul  Qur’an  Edisi  Revisi “H. 95
[16]   Abdul  Djalal,  Ulumul Qur’an “ H.  164
[17] Az-Zarkasyi,Ibid.H.62

Tidak ada komentar: