KORELASI AL QUR’AN
- Pendahuluan
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dikarenakan beliau gelisah oleh kenyataan bahwa dalam pertempuran di Yammah, yaitu ‘perang kemurtadan’ (riddah) banyak penghafal al-Qur’an yang mati terbunuh. Karena mereka adalah orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Qur’an dalam hati mereka, Umar khawatir jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Qur’an yang akan hilang dan tak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu karena ia merupkan mantan juru tulis Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat penulisan al-Qur’an dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Nabi lainnya.
Mengenai tertib surat terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Salaf, ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat[1].
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi atau persesuaian kandungan Al-Qur’an kurang mendapat perhatian mendalam dari para Ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Oleh karena itu makalah ini berupaya mengetengahkan mengenai munasabah yang mencakup: pengertian munasabah, sejarah perkembangan munasabah, eksistensi munasabah, macam-macam munasabah serta urgensi munasabah.
- PEMBAHASAN
Menurut bahasa munasabah berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
Secara etimologis,munasabah menurut Manna Al-Qaththan berarti keterkaiatan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.[2]. Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu al-Qur’an sesuai dengan pengertian menurut bahasa di atas adalah segi-segi hubungan atau persesuaian al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surah dengan akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang lain dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa al-Qur’an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh[3].
Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, diantara ciri gubahan suatu bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah manakala rangkaian susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat, alenia demi alenia dan seterusnya memiliki keterkaitan atau hubungan sedemikian rupa sehingga menggambarkan satu kesatuan yang tidak pernah terputus[4]. al-Qur’an sangat memenuhi persyaratan yang ditetapkan para pujangga itu, mengingat keseluruhan al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf,itu seperti yang ditegaskan al-Qurthubi laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisahkan[5]. Satu hal yang patut ditegaskan ialah bahwa kesatuan al-Qur’an terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian dengan bagiannya.
Jadi munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hikmah korelasi urutan ayat al-Quran, atau usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Melalui ilmu ini diharapkan rahasia Ilahi dapat terungkap dengan jelas yang mampu menjawab sanggahan yang selalu meragukan keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
B. Sejarah Perkembangan Munasabah
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Menurut al-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Ramli Adbdul Wahid dalam bukunya yang berjudul Ulumul Qur’an, orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi. Apabila al-Qur’an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan di samping surat sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Bagdad karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah[6].
Terdapat beberapa istilah yang dikemukakan para mufassir mengenai munasabah. Ar-Razi menggunakan istilah ta’alluq sebagai sinonimnya. Sayyid Quthub menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti kata munasabah. Sedangkan Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu al-ittishal dan at-ta’lil. Al-Alusi menggunakan istilah yang hampir sama dengan istilah yang digunakan Sayyid Quthb, yakni tartib[7].
C. Eksistensi Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai pada mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW. yang setiap tahun melakukan mu’aradhah (memperdengarkan bacaannya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib surat yang sama kepada kita jumpai sekarang.
Adapun sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Qur’an masuk dalam masalah ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama mushaf pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al- Qur’an berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Ketiga adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat al-Qur’an ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa sebagiannya tauqifi dan lainnya ijtihadi. Pendapat ini juga mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat al- Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW. dan lainnya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al-Baqarah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya sama dengan surat sebelumnya, surat Al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya-kata usman-meletakkannya setelah surat Al-Anfal.
Meski ketiga pendapat diatas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukankan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan tertib mushaf yang sekarang dan adanya cacatan mushaf sahabat yang berbeda bukanlah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir.
Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat al-Qur’an. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagian surat tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi tidak kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat Al-Baraah sehingga Usman menempatkannya setelah surat Al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik dari segi sanad maupun matan. Sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai majhul oleh Al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah karena Nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunnya surat Al-Baraah.
Tentunya dalam rentang waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat menjelaskan letak sebuah surat, sedangkan Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril. Sementara itu riwayat tentang mu’aradhah Nabi akan bacaanya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat yang shahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari kedua pendapat lainnya[8].
Akan tetapi menurut sebagian ulama tetap berkeyakinan bahwa hubungan al- Qur’an antara bagian demi bagian dan ayat demi ayat serta surat demi surat pasti dapat ditelusuri. Karena az-Zarkasyi juga mengatakan bahwa munasabah tergolong ke dalam yang bersifat rasional dan akan terjangkau oleh akal manakala diserahi tugas itu. Berbagai hubungan antara pembuka-pembuka surat dan penutup- penutupnya, demikian pula dengan perujukan kepada makna apa pun yang menghubungkan antara keduanya; apakah itu berdasar pendekatan ‘am dan khas, aqli maupun hissi dan bahkan hayali serta hubungan-hubungan yang lain-lainnya. Bisa juga dilakukan dengan pendekatan hubungan saling keterkaitan yang bersifat penalaran, sebagaimana hubungan sebab-musabbab, illat dan ma’lul, an-nazhirain dan lain-lain[9].
Terlepas dari kontropersi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir. Buku-buku Ulumul Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia janrang memuat bahasan ini. Sebab, ilmu munasabah-sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi –termasuk ilmu yang rumit.
D. Macam-macam Munasabah
a. Macam-macam Sifat Munasabah
Ditinjau dari segi sifatnya munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
1. Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, kerena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelasan, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra:
Artinya:“ Maha Suci Allah, yang memperjuangkan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (al-Isra’: 1)
Ayat tersebut menerangkan Isra’ Nabi Muhammad SAW. selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
Artinya: “Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.” (al-Isra’ : 2)
Ayat yang pertama berbicara tentang perjalanan isra’ Nabi Muhammad Saw; sedangkan ayat kedua berbicara tentang penurunan Taurat kepada Musa. Segi penghubungnya, kata az-Zarkasyi, pada ayat pertama, Allah menampilkan hal yang ghaib (perjalanan isra’), kemudian diikuti informasi serupa (sama-sama ghaib) berkenaan dengan hal yang terjadi di masa lampau guna memperkuat kebenaran mukjizat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang selain Nabi Muhammad Saw yakni mukjizat nabi Musa As. Jadi, Allah mengibaratkan nabi Muhammad Saw sebagaimana nabi Musa juga pernah di-isra’kan Allah dari Mesir ke Palestina (al- Baqarah 49-50, al-Anfal 54, Yunus 90, al-Isra’ 103, as-Syu’ara 65-67), beserta bala tentaranya dalam suasana yang sangat mencekam dan menakutkan[10].
2. Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri- sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
Artinya:“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakan-lah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)haji”
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit / tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
Artinya:“Dan perangilah di jalam Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji[11].
b. Macam-macam Materi Munasabah
Ditinjau ari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
1. Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
a. Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu dengan materi surah yang lain. Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandunagn Al-Qur’an, yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al- Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.
b. Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah. Contohnya, seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi:
Artinya: “Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
c. Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa:
Artinya:“Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qasas 28:17)
Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir: Artinya:“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum- hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ketempat kembali (yaitu kota Mekah). Katakanlah: ’Tuhanku mengetahui arang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu,oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang
kafir.” (al-Qasas 28 : 85-86[12]).
2. Munasabah Antara Ayat dengan Ayat Dalam Satu Surat
Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
a. Diathafkannya ayat yang satu kapada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran:
Artinya:“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.”
Dengan ayat 102 surah Ali-Imran:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadziiraini). Ayat 102 surah Ali- Imran menyeruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surah ali-Imran:
Artinya: “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat Kami.”
Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10 surah Ali- Imran), sehingga ayat 11 surah Ali-Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.
c. Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surah Al-Anfal:
Artinya: “Sebagaimana Tuhanmu menyeruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”
dengan ayat 4 surah Al-Anfal:
Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 surah Al- Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
d. Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti dikumpulkan ayat 95 surah Al-A’raf:
Artinya: “Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasakan pernderitaan dan kesenangan.”
Dengan ayat 94 surah Al-A’raf:
Artinya : “Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu) melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tuduk dengan merendahkan diri.”
Ayat 94 surah Al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah Al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
e. Dipindahkannya satu pembicaraan ayat 55 surah Shaad:
Artinya:“Beginilah (keadaan mereka). Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka, benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk.”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surah Shaad yang membicarakan rezeki dari para ahli surga:
Artinya : “Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dari Kami yang tiada habis-habisnya.”
3. Munasabah antara nama surat dengan kandungannya
Nama-nama surat yang ada di dalam al-Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Surat al-Fatihah disebut juga umm al-kitab karena memuat berbagai tujuan al-Qur’an.
4. Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat
Munasabah di sini bisa bertujuan:
a. Tamkin (peneguhan). Misalnya:
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari perperangan. Dan Allah adalah Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab 33 : 25)
Sekiranya ayat ini terhenti pada, “Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari perperangan,” niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang kfir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena angin yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan suatu yang kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat ini ditiup dengan mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim[13].
b. Tashdir (pengembalian). Misalnya:
Artinya:“Dan mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu.” (QS. Al-An’am 6 : 31)
Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya sejenis dengan kata dalam ayat tersebut.
c. Tausyih (hikmah). Misalnya:
Artinya: “Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Yasin 36 : 37)
Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab, dengan hilangnya siang akan timbul kegelapan. Ini berarti bahwa kandungan awal ayat telah menunjukkan adanya hikmah dibalik kejadian tersebut.
d. Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya:
Artinya:“Sesungguhnya, kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati mendengar dan tidak pula orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. Al-Naml 27 : 80)
Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan). Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi sambungan lagi sebagai penjelas tambahan.
e. Urgensi Munasabah Pengertian tentang munasabah al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir urgen. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al- Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya. Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya[14]. Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al- Fatihah yang artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambung dengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari Allah SWT.
2. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengan demikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam[15].
3. Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih menyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalal dalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling bersetara adalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya[16].
Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an diantaranya adalah Abu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalah ilmu yang baik (ilmun hasanun), ilmu mulia (ilmun syarifun), ilmu yang agung (ilmun adzimun). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukup signifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan seorang mufassir[17]. Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorang menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-maudhu’i (tematik) atau al- muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan (munasabah) antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis.
Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upaya memperkaya dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencari hubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.(Amin Suma, 2004: 148)
- KESIMPULAN
Munasabah ialah cabang dari ilmu Ulumul Qur’an yang membahas persesuaian atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah maupun surah dengan ayat didalam al-Qur’an.Terlepas dari kontropersi tentang keberadaan munasabah yang kurang mendapat perhatian dari para muffasir, penulis sangat tertarik karena mempelajari munasabah dapat mempermudah memahami dan memaknai hal-hal yang tersirat didalam al-Qur’an sehingga bagian-bagia dari al-Qur’an nampak saling berhubungan menjadi satu rangkaian yang utuh selain itu juga dapat mempertebal keyakinan dan keimanan kita akan Kebesaran Illahi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an Karim
Al-Abyari, Ibrahim “ Sejarah al-Qur’an” Bina Utama, Semarang. 1993.
Al-Qathathan, Manna’ “Mabahits fi Ulum al-Qur’an”. Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi, Beirut. 1973.
Anwar, Rosihan “Ulumul Qur’an”. Pustaka Setia, Bandung. 2000.
Az-Zarkasyi “Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an”. Darul Mathabah, Beirut. 1988.
Djajal, Abdul “Ulumul Qur’an”. Dunia Ilmu, Surabaya. 1998.
Izzan, Ahmad “Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al- Qur’an”. Tafakur, Bandung. 2005.
Halimuddin “Pembahasan Ilmu al-Qur’an”. Rineka Cipta, Jakarta. 1993.
Mudzakir, “Studi Ilmu-ilmu Qur’an”. Lintera Antar Nusa, Jakarta. 1992.
Suma, Muhammad Amin “Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an”. Pustaka Firdaus, Jakarta. 2004.
Wahid, Ramli Abdul Ulumul Qur’an Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar