Kamis, 16 Agustus 2012

Qadla dan Qadar


IMAN KEPADA QADLA DAN QADAR
A.     PENDAHULUAN
Masalah qadha’ dan qadar merupakan salah satu pembahasan penting teologi, tema ini memiliki kaitan erat dengan masalah yang saat ini biasa disebut dengan “taqdir” masalah ini bukan saja sebagai obyek kajian telah menyita pikiran para filosof dan teolog akan tetapi ia juga merupakan permasalahan pokok dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu sejak masa dulu pembahasan taqdir memiliki posisi yang spesial bagi para penyair dan pujangga dalam menelurkan kreasi besar mereka. Merupakan suatu yang wajar jika para agamawan menginterpretasikan dan mengkaitkan masalah Taqdir dengan ilmu dan irâdah (kehendak) Tuhan, namun kaum atheis dan materialis menganggap bahwa masalah tersebut hanya berkaitan dengan hukum sebab akibat yang bersifat materi.
Akar masalah qadha’ dan qadar merupakan salah satu ideologi islam yang tidak lagi ragukan dimana masalah ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab dan riwayat-riwayat yang tidak lagi dapat dipungkiri. Namun meskipun demikian -seperti yang akan kami singgung- kaum muslimin saling berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah tersebut.
B.      PEMBAHASAN
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburkannya. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Secara etimologi qadla adalah menyempurnakan suatu perkara, melaksanakan dan menyelesaikan, baik berupa ucapan, amalan dam kehendak. Sedangkan qadar adalah menjelaskan jumlah.[1]
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian:
1.      Kata Al Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdîr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdîr” Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya.
2.      Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdûr. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdûr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini, dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih Wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdûr.
Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan ”buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja.
Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdîr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdîr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula, ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan.oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
 “Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang wajib adanya.
Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ  
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” (QS. Yunus : 99)
Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintah kepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah; “Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”. Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya dengan perintah Allah.
Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinya sembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara ”perintah Allah” dan ”kehendak-Nya”.
Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-orang kafir. Allah berfirman:
 $tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al Dzariyat : 56)
Makna firman Allah “Illâ Li-Ya’budûn” dalam ayat ini artinya “Illâ Li-Âmurahum Bi ‘Ibâdatî”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:
            “Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
yang dimaksud dengan Qadla di dalam hadits ini adalah Qadlâ Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlâ Mubrab dan Qadlâ Mu’allaq.
1.      Qadlâ Mubram
Ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqâwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’âdah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya.
2.      Qadlâ Mu’allaq
yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-lembaran para Malaikat.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdîr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.
Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
 #sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.(QS. Al Baqarah: 186)
Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas.[2]
v  Allah Pencipta Segala Sebab Dan Akibat
Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
 Artinya: “Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).
            Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
v  Firqah-Firqah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar
Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatannya, mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab) dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin tersebut membawanya[3]. Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan firman Allah:
 $tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# >u šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÒÈ
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At Takwir : 29)
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyî-ah) oleh Allah, hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba. Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakan bahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb), yaitu dalam firman Allah:
 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
                Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS, Al Baqarah :286)
Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut. Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya, mereka bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita sepakat mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Kaum Qadariyyah yang berkeyakinan seperti itu telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah, di samping itu mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya.
Mustahil Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-Dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh manusia yang notabene sebagai benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah sebagai Pencipta segala benda tersebut, maka demikian pula Allah sebagai Pencipta bagi segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut. Sangat tidak logis jika dikatakan adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah, tapi kemudian benda itu sendiri yang menciptakan sifat-sifat dan segala perbuatannya. Karena itu Imam al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul “Khalq Af’âl al-‘Ibâd”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan dan kekufuran kaum Qadariyyah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri; sama-sama menciptakan. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya, karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya masing-masing, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’ûdzu Billâh.
Golongan ke tiga, yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah  keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling kecil hingga benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptakan segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut.
Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian; Pertama, Af’âl Ikhtiyâriyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, usaha, kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’âl Idlthirâriyyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. Dalam keyakinan Ahlussunnah; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriyyah, maupun Af’âl Idlthirâriyyah adalah ciptaan Allah.
v  Kesesatan Faham Mu’tazilah Yang Menetapkan Bahwa Manusia Sebagai Pencipta Bagi Perbuatannya
Ulama Ahlussunnah telah menetapkan bahwa kaum Mu’tazilah yang berkeyakinan manusia menciptakan perbuatannya sendiri telah keluar dari Islam. Karena dengan demikian mereka telah menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Pengertian “menciptakan” dalam hal ini ialah: “Mengadakan dari tidak ada menjadi ada” (al-Ibrâz Min al-‘Adam Ilâ al-Wujûd). Keyakinan Mu’tazilah semacam ini menyalahi banyak teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah. Dalam al-Qur’an di antaranya firman Allah:
ö@yd ô`ÏB @,Î=»yz çŽöxî «!$#
Adakah Pencipta selain Allah? (QS. Fathir : 3)
Ayat ini bukan untuk menanyakan atau menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Tapi “pertanyaan” dalam ayat ini di sini disebut dengan Istifhâm Inkâri; artinya untuk mengingkari adanya pencipta kepada selain Allah dan untuk menetapkan bahwa yang menciptakan itu hanya Allah saja.
Kaum Mu’tazilah atau kaum Qadariyyah yang kita sebutkan di atas adalah kaum yang digambarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya sebagai kaum Majusi dari umatnya ini. Dalam sebuah hadits masyhur Rasulullah bersabda:
Artinya “Kaum Qadariyyah adalah kaum Majusi-nya umat ini” (HR. Abu Dawud).
            Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang ditentang keras oleh sahabat Abdullah ibn Umar, dan para sahabat terkemuka lainnya, juga oleh para ulama pasca sahabat. Sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: “Perkataan kaum Qadariyyah adalah kekufuran”. Sahabat Ali ibn Abi Thalib suatu ketika berkata kepada seorang yang berfaham Qadariyyah: “Jika engkau kembali kepada keyakinan tersebut maka akan saya penggal kepalamu!”. Demikian pula al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib sangat kuat menentang faham Qadariyyah ini. Lalu Abdullah ibn al-Mubarak, salah seorang imam mujtahid, telah memerangi faham Tsaur ibn Yazid dan Amr ibn Ubaid; yang keduanya adalah pemuka Mu’tazilah. Bahkan cucu Ali ibn Abi Thalib, yaitu al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap kaum Mu’tazilah tersebut. Demikian pula Imam al-Hasan al-Bashri, al-Khalîfah ar-Râsyid Imam al-Mujtahid Umar ibn Abd al-Aziz, dan Imam Malik ibn Anas telah mengkafirkan kaum Qadariyyah. Bahkan telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi dan Badruddin az-Zarkasyi dalam Syarh Jama’ al-Jawâmi’ bahwa suatu ketika Imam Malik ditanya tentang hukum pernikahan seorang yang berfaham Mu’tazilah, lalu Imam Malik menjawab dengan ayat al-Qur’an:
4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B
“ Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik “ ( QS. Al Baqarah : 221)
Demikian pula Imam Abu Manshur al-Maturidi telah mengkafirkan kaum Qadariyyah. Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi (w 429 H); salah seorang imam terkemuka di kalangan ulama Asy’ariyyah, guru dari al-Hâfizh al-Bayhaqi, dalam Kitâb Ushûl ad-Dîn, hlm. 337, hlm. 341, hlm. 342, dan hlm. 343, menuliskan: “Seluruh para sahabat kami telah sepakat di atas mengkafirkan Mu’tazilah”. Pernyataan beliau “Seluruh para sahabat kami” yang dimaksud adalah para ulama terkemuka dari kaum Asy’ariyyah Syafi’iyyah, karena Abu Manshur al-Baghdadi adalah seorang imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah madzhab asy-Syafi’i. Beliau sangat dikenal di antara para ulama ahli teologi, ahli fiqih, maupun ahli sejarah, terlebih di antara para ulama yang menulis tentang firqah-firqah dalam Islam beliau adalah rujukannya, karena beliau yang telah menuslis kitab fenomenal tentang firqah-firqah dalam Islam yang berjudul al-Farq Bayn al-Firaq.
Kemudian al-Hâfizh Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, j. 2, hlm. 135, menuliskan: “Para ulama yang berada di seberang sungai Jaihun (ulama Maturidiyyah Hanafiyyah yang berada di Bilâd Mâ Warâ’ an-Nahr) tidak pernah berhenti mengkafirkan kaum Mu’tazilah (yang berkeyakinan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri)”.
Di antara ulama lainnya yang telah mangkafirkan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri adalah; Syaikh al-Islâm Imam al-Bulqini dan Imam al-Mutawalli dalam kitab al-Ghunyah; keduanya adalah ulama terkemuka pada tingkatan Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab asy-Syafi’i, satu level di bawah tingkatan Mujtahid Mutlaq. Di antara ulama lainnya; Imam Abu al-Hasan Syist ibn Ibrahim al-Maliki, Imam ibn at-Tilimsani al-Maliki dalam kitab Syarh Luma’ al-Adillah, dan masih banyak lagi[4].
            Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah menuliskan sebagai berikut: ”Ketahuilah bahwa mengkafirkan setiap pemuka dari para pemimpin kaum Mu’tazilah adalah perkara wajib, karena berbagai alasan berikut; Washil ibn ’Atha’ telah menjadi kafir dalam masalah Qadar, ia menetapkan adannya pencipta kepada selain Allah; yaitu bahwa setiap hamba adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Dia pula yang mengkreasi pendapat bahwa seorang yang fasik bukan seorang mukmin dan bukan pula seorang kafir; tetapi di tengah-tengah antara keduannya (al-Manzilah Bayn al-Manzilatayn), yang oleh karena ini ia kemudian di usir oleh al-Hasan al-Bashri dari majelisnya.
Kaum Mu’tazilah di Baghdad berkeyakinan bahwa Allah tidak melihat dan tidak mendengar sesuatu apapun kecuali dalam pengertian objeknya saja (artinya, menurut mereka sebuah objek sebagai perwakilan Allah yang dapat melihat, tetapi Allah sendiri tidak melihat). Pemuka mereka bernama al-Jubba’i berkeyakinan bahwa Allah menta’ati setiap apa yang diinginkan oleh para hamba-Nya. Sementara anak al-Jubba’i, yaitu Abu Hasyim berkeyakinan bahwa seorang hamba dapat terkena siksa dan balasan yang buruk bukan karena perbuatan dosa, juga bekeyakinan bahwa Allah memiliki keadaan-keadaan; yang keadaan-keadaan tersebut antara ada dan tidak ada, antara diketahui dan tidak diketahui.
Kekufuran kaum Mu’tazilah ini sangat banyak; tidak ada yang tahu jumlahnya secara pasti kecuali Allah. Ulama Asy’ariyyah Syafi’iyyah dalam menilai kaum Mu’tazilah ini berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa mereka persis seperti kaum Majusi sesuai dengan sabda Rasulullah: “Kaum Qadariyyah adalah Majusi-nya umat ini”, ada pula yang berpendapat bahwa hukum mereka sebagai mana hukum terhadap orang-orang murtad”. (Dikutip oleh beliau dalam Kitâb Ushûliddîn, hlm. 337).
C.      Kesimpulan
            Imam al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi dalam Kitâb al-Qadar dan Imam Ibn Jarir ath-Thabari dalam Kitâb Tahdzîb al-Âtsâr meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
Ada dua kelompok dari umatku yang tidak memiliki bagian dalam Islam; al-Qadariyyah dan al-Murji’ah”. (HR. al-Bayhaqi dan lainnya)
Kaum Mu’tazilah dalam hal ini adalah sebagai kaum Qadariyyah, karena dalam keyakinan mereka bahwa manusia yang menciptakan segala perbuatannya, dengan demikian sama saja mereka menjadikan Allah setara dengan para hambanya karena menetapkan adanya sekutu dalam penciptaan kepada-Nya. Dalam hadits di atas disebutkan bahwa kaum Qadariyyah disebut sebagai umat Majusi karena dalam hal ini terdapat titik kesamaan antara keduanya. Kaum Majusi menetapkan adannya dua pencipta; pencipta kebaikan; yaitu cahaya, dan penciptan keburukan; yaitu kegelapan, sementara kaum Qadariyyah menetapkan manusia sebagai pencipta bagi segala perbuatannya. Bahkan dalam hal ini kaum Qadariyyah lebih buruk, karena tidak hanya menetapkan dua pencipta, tetapi menetapkan banyak sekali pencipta sebagai sekutu bagi Allah.
Hadits riwayat al-Bayhaqi dan Ibn Jarir di atas merupakan dalil bahwa dua golongan tersebut; Qadariyyah dan Murji’ah adalah golongan yang bukan bagian dari Islam. Tentang kelompok Mut’tazilah; mereka terdiri dari dua puluh golongan, beberapa di antaranya ada yang telah mencapai batas kekufuran seperti mereka yang berkeyakinan bahwa manusia sebagai pencipta bagi segala perbuatannya, dan ada pula di antara yang mereka yang hanya sesat saja seperti mereka yang berpendapat bahwa Allah di akhirat kelak tidak bisa dilihat sebagaimana di dunia ini tidak dapat dilihat, atau pendapat mereka yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar jika mati sebelum bertaubat maka ia bukan sebagai mukmin juga bukan seorang yang kafir; namun begitu kelak ia akan dikekalkan di dalam neraka tidak akan pernah dikeluarkan, atau pendapat mereka yang mengatakan bahwa sebagian orang-orang mukmin pelaku maksiat kelak tidak akan mendapatkan syafa’at dari para Nabi, para ulama, atau  dari para syuhada. Dengan demikian, seorang yang berkeyakinan sejalan dengan faham Mu’tazilah dalam beberapa perkara terakhir disebutkan ini maka ia tidak dikafirkan, dengan catatan:
1.      Ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah (Qadariyyah) yang menetapkan bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatan-perbuatannya sendiri.
  1. Selama ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berkehendak bagi seluruh manusia untuk beriman dan ta’at kepada-Nya hanya saja sebagian dari mereka ada yang kafir dan berbuat maksiat kepada-Nya tanpa dikehendaki oleh-Nya. Artinya, menurut faham Mu’tazilah ini setiap kekufuran dan segala kemasiatan bukan dengan ciptaan Allah dan bukan dengan kehendak-Nya, tetapi terjadi dengan ciptaan manusia dan dengan kehendak manusia itu sendiri.
  2. Selama ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat; seperti sifat ’Ilm, Qudrah, Hayât, Baqâ’, Sama’, Bashar, dan sifat Kalâm.
            Adapun kaum Murji’ah adalah golongan yang mengatakan bahwa seorang hamba yang mukmin, sekalipun ia berbuat berbagai dosa besar dan meninggal tanpa taubat dalam keadaan membawa dosa-dosanya tersebut maka kelak ia tidak akan disiksa sedikitpun. Kaum Murji’ah ini berkata: ”Sebagaimana setiap kebaikan tidak akan memberikan manfaat dan tidak ada pengaruhnya jika dilakukan dalam keadaan kufur, maka demikian pula dengan setiap dosa, ia tidak akan berpengaruh dan tidak akan membahayakan terhadap diri seorang mukmin”. Mereka mensejajarkan sama persis antara pemahaman ungkapan pertama dengan pemahaman ungkapan ke dua. Ungkapan pertama: ”Setiap kebaikan tidak akan memberikan manfaat jika dilakukan dalam keadaan kufur”, adalah ungkapan benar, karena seorang yang kafir sekalipun banyak melakukan kebaikan maka sedikitpun ia tidak akan mengambil manfaat dari kebaikan-kebaikannya tersebut. Adapun ungkapan mereka yang kedua: ”Setiap dosa tidak akan berpengaruh dan tidak akan membahayakan terhadap diri seorang mukmin”, adalah perkataan kufur dan sesat, karena seorang mukmin apabila melakukan kemaksiatan-kemaksiatan maka hal itu akan membahayakannya, artinya tidak mutlak setiap orang mukmin pelaku dosa itu akan selamat di akhirat kelak.
Imam al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi meriwayatkan dari Amîr al-Mu’minîn Ali ibn Abi Thalib, bahwa ia (Ali ibn Abi Thalib) berkata: ”Sesungguhnya setiap orang dari kalian tidak akan memiliki keimanan yang murni di dalam hatinya hingga ia berkeyakinan dengan sepenuhnya tanpa ragu sedikitpun bahwa sesuatu yang menimpanya bukan sesuatu yang salah atas dirinya, dan ia beriman serta mempercayai sepenuhnya bahwa segala sesuatu yangterjadi dengan ketentuan Allah”.
Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari Qadla dan Qadar Allah. Artinya bahwa semuanya terjadi dengan penciptaan dari Allah dan dengan ketentuan Allah. Segala apa yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi maka pasti terjadi, dan segala apa yang tidak Dia kehendaki kejadiannya maka tidak akan pernah terjadi. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk merubah apa telah diciptakan dan ditentukan oleh Allah maka sedikitpun mereka tidak akan mampu melakukan itu. Bagi seorang yang beriman kepada al-Qur’an hendaklah ia berpegang teguh kepada firman Allah:
 Ÿw ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ
Artinya : “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al Anbiya’ : 23)
Allah Maha Adil. Dia tidak memilih tetapi memilah. Dia tidak lalai atau tidur, hanya sering kali menunda dan mengulur, perintah yang berkaitan dengan syari’at, seperti puasa, zakat, ditunda ganjaran dan sanksinya sampai hari kemudian[5]. Kita dituntut untuk melaksanakan apa yang telah dibebankan di dalam syari’at. Bila kita melanggar maka kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya, dan bila kita patuh maka kita sendiri pula yang akan menuai hasilnya. Dalam hal ini kita tidak boleh meminta “tanggungjawab” atau “protes” kepada Allah. Kita tidak boleh berkata: “Mengapa Allah menyiksa orang-orang berbuat maksiat dan menyiksa orang-orang kafir, padahal Allah sendiri yang berkehendak terhadap adanya kemaksiatan dan kekufuran pada diri mereka?”. Allah tidak ada yang meminta tanggung jawab dari-Nya. Dia berhak melakukan apapun terhadap makhluk-makhluk-Nya karena semuanya adalah milik Allah. Kita hendaklah bersyukur sedalamnya, bacalah “al-Hamdu Lillâh”, pujilah Allah seluas-luasnya, karena Allah telah memberikan karunia besar kepada kita bahwa kita telah dijadikan orang-orang yang beriman kepada-Nya.




DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdur Rahman Habanakah, Aqidah Islami, Gema Insani, Jakarta, 1998
Abu Bakr Al Jazairi, Aqidah Al Mu’min, Pustaka Amani, Jakarta, 2001
Al Hâfizh Al Habasyi, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, Dar Al Kutub Bairut. Tth.
Quraisy Syihab, Lentera Al Quran, Mizan, Bandung, 2008


[1] Abdur Rahman Habanakah, Aqidah Islami, H. 1998
[2] Ibid. H. 627
[3] Abu Bakr Al Jazairi, Aqidatul Mu’min. H. 583
[4] al-Hâfizh al-Habasyi, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, Bairut. J. I hlm. 31
[5] Quraisy Syihab, Lentera Al Quran, H. 72

Tidak ada komentar: