Kamis, 23 Agustus 2012

Hadits Shahih dan Hadits Hasan

PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA A. Pendahuluan Dalam hukum Islam, mayoritas ulama’ sepakat, bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini telah dijelaskan dalam sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diperintah oleh Rosululloh Saw. Beliau bertanya kepada Mu’adz tentang pengambilan hukum dalam memutuskan suatu perkara, kemudian Mu’adz menjawab, bahwa sumber pengambilan hukum Islam adalah Al Qur’an, jika tidak ada maka beralih kepada hadits Nabi, jika tidak ditemukan dalam hadits maka solusinya mengqiyaskan hukum yang sudah ada. Al Qur’an menempati kedudukan tertinggi dalam sumber hukum Islam, sebab merupakan sumber hukum asal. Sedangkan hadits derajatnya lebih rendah dari hukum asal. Demikian karena hadits berfungsi sebagai penjelas dari Al Qur’an yang memiliki karakteristik keumuman dalam segi lafad maupun makna, hadits juga dapat memberikan suatu konsep hukum yang belum/tidak diketemukan dalam Al Qur’an. Konsep hukum yang diajukan dalam sebuah hadits, tidak harus serta merta diamalkan, tetapi harus melalui pengkajian terlebih dahulu tentang kualitas dan kuantitasnya. Sebab hadits yang bisa dibuat hujah hukum adalah hadits yang memiliki kualitas yang sempurna di kalangan para ulama’, memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh jumhur ahli hadits. Baik persyaratan itu pada matannya maupun pada sanad periwayatannya. Dengan mengetahui kualitas matan dan sanad sebuah hadits, maka hadits tersebut dapat dikatakan diterima atau ditolaknya hadits untuk dijadikan sebagai hujah hukum. Disini kami akan menjelaskan kualitas sebuah hadits yang dapat dijadikan sebagi hujah hukum beserta pembagiannya. B. Pembahasan Hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hadits merupakan urutan kedua dari sumber hukum. Yang mempunyai kekuatan hujah jika standart yang diberikan oleh ulama’ hadits terpenuhi, dalam kata lain, hadits yang memiliki kualitas matan maupun sanad sempurna. Hadits yang memiliki kualitas yang baik, dalam garis besarnya oleh ulama’ membagi menjadi 2 macam, yakni : 1. Hadits Shahih Kata shahih berarti sehat, lawan dari kata sakit. Sedangkan istilah shahih memiliki arti, suatu hadits yang mata ranting periwayatannya sambung dengan perowi pertama, yang telah diriwayatkan oleh orang yang adil dan memiliki daya ingat yang luar biasa, yang selamat dari kejanggalan serta cacat. ما إتصال سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولاعلة Dari pengertian diatas bahwa hadits shahih harus memiliki 4 syarat, yakni a. Dalam sanadnya harus sambung, yakni diantara para perowi hadits harus bertemu langsung dengan perowi lainnya, mulai dari perowi tingkat pertama dalam sanad sampai perowi terakhir,yakni orang yang menerima hadits langsung dari Nabi. Persambungan sanad dapat diartikan 2 macam 1) Pertemuan langsung oleh perowih awal sampai perowi terakhir, sehingga dia benar-benar mendengar atau melihat secara langsung. Semisal dalam meriwayatkan hadits, perowi menggunkan lafad, سمعنا حدثنا , أخبرنا, رأيت 2) Pertemuan secara hukum, perowi yang hidup pada masa orang yang meriwayatkannya yang menggunakan ungkapan bahasa mungkin melihat atau mungkin mendengar, contoh : قال فلان, عن فلان, فعل فلان Pertemuan diantara para perowi hadits harus telah memenuhi persyaratan yang telah disyaratkan ulama’ hadits, yakni : a) Perowih telah cakap hukum atau baligh b) Hidup sezaman dengan perowi yang memberikan periwayatannya, hal ini harus didukung oleh perkatan orang lain bahwa seorang perowi hidup sezamannya c) Dalam menerima periwayatan, perowi harus dilihat status agamanya. b. Perowi harus adil, artinya perowi hadits harus beragama Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan kewibawaannya/harga dirinya tidak tercemar pada masa hidupnya. Di sini perowi hadits dituntut memiliki akhlak yang terpuji selama periwayatan hadits, seperti perowih hadits senantiasa memakai penutup kepala, tidak makan atau minum di pinggir jalan, harus selalu memakai alas kaki. Penjelasan tentang profil seorang perowih akan dijelaskan dalam bab jarh wa ta’dil. c. Perowi harus memiliki daya ingat yang kuat, mulai dari menerima sampai menyampaikan hadits kepada orang lain. Dengan kemampuan daya ingat yang luar biasa otentisitas sebuah hadits dapat terpelihara sampai kepada orang yang menerimanya. Daya ingat disini memiliki dua macam, pertama, daya ingat dalam dada yakni seorang perowi dapat meriwayatkan sebuah hadits dalam kondisi dan situasi kapanpun. Sehingga jika seorang yang meminta perowi untuk meriwayatkan sebuah hadits harus benar-benar sanggup meriwayatkannya. d. Tidak ada kejanggalan dalam periwayatannya, yakni seorang perowih yang tsiqoh (adil dan cerdas) tidak bertentangan dengan perowih yang lebih tsiqah. e. Tidak ada cacat, maksudnya suatu sebab tersembunyi yang membuat keabsahan suatu hadits, seperti perowinya seorang lemah hafalannya, berbuat fasiq atau seorang ahli bid’ah. Dari 5 syarat diatas maka telah dapat dinyatakan sebagai hadits shahih, sebagaimana contoh dibawah ini ما أخرج البخاري في صحيحه قال : حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد ابن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطور Hadits diatas merupakan hadits shahih dikarenakan : a) Sanadnya sambung, setiap perowih hadits menerima secara langsung dari gurunya b) Semua perowihnya adalah orang-orang yang masyhur kuat hafalnnya serta kealimannya dikalangan ulama’ jarh wa al Ta’dil • عبد الله بن يوسف, seorang yang tsiqoh yang terpercaya • مالك, seorang imam yang hafal hadits • ابن شهاب , ahli fikih yang hafal hadits, kondang keagungan dan kepercayannya • محمد ابن جبير , tsiqoh • جبير بن مطعم , sahabat Nabi c) Tidak berlawanan yang lebih kuat darinya d) Tidak terdapat ilat. Hukum dari hadits shahih adalah wajib diamalkan dan bias dibuat sebagai dalil dari sumber Islam, demikian menurut ulama’ ahli hadits, fuqaha’ serta ulama’ ushul. Sedangkan hadits shahih terdapat 2 macam, yaitu : 1. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), yakni yang telah memenuhi 5 persyaratan seperti yang telah dijelaskan diatas. 2. Shahih lighairih ( shahih karena yang lain), yakni ketika ada periwayatan melaui jalan lain yang sam atau lebih kuat dari padanya. Artinya hadits ini belum memenuhi persyaratan hadits shahih, tapi karena diperkuat dari sanad lain. Seperti contoh hadits yang diriwayatkan oleh Al Turmudzi dari sanad Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw. Bersabda لولا أم أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة “seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu aku perintah mereka bersiwak ketika setiap shalat” Kualitas hadits diatas adalah hasan lidzati, dikarenakan semua perowi hadits bersifat stiqah selain Muhammad bin Amir, dia hanya orang yang banyak benarnya, tetapi dalam periwayatan lainnya, seperti yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim melalui jalan Al Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah, maka hadits diatas kualitasnya naik menjadi shahih lighairih. 2. Hadits Hasan Secara bahasa hasan memiliki arti keindahan, sedangkan arti istilahnya terdapat pertentangan dikalangan para ulama’, tetapi yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al Asqalani yaitu khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak berillat, dan tidak ada syadz dinamakan shahih lidzati, jika kurang sedikit kadhabithannya disebut hasan lidzati. Artinya yang membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan adalah tingkat kedlabithannya. Jika hadits shahih, dhabithnya sempurna, tetapi jika hadits hasan tingkat dhabithnya lebih rendah dari hadits shahih, lebih tinggi dari hadits dhaif. Sebgaimana contoh hadits yang telah diriwayatkan oleh al Turmudzi dari qutaibah, ja’far bin Sulaiman al Dluba’I dari Abi ‘imran al Juni dari Abu Bakr bin Abi Musa al Asy’ari, dari Abi Bahdlarah al ‘Adlu, bahwa Nabi bersabda : إن أبواب الجنة تحت ظلال السيوف ... Hadits diatas adalah termasuk hadits hasan, dikarenakan 4 perowih hadits adalah tsiqah kecuali Ja’far bin Sulaiman Al Dlaba’i. sedangkan hadits hasan juga dibagi menjadi 2 bagian. 1. Hadits hasan lidzatyi, yakni hadits yang telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang telah ditentukan. 2. Hadits hasan lighairih, yakni hadits dlaif yang berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedlaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi, artinya hadits dlaif dapat mencapai hadits hasan lighairih harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat, serta sebab kedlaifan hadits tidak berat, seperti fasik dan dusta, tetapi sebab kedlaifannya ringan, seperti hafalan yang kurang atau terputusnya sanad. Seperti contoh hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari al Hakam bin Abdul Malik dari Qotadah dari Sa’id bin Musayyab dari Aisyah, Nabi Bersabda : لعن الله العقرب لاتدع مصليا ولاغيره فاقتلوها في الحل و الحرام “Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram.” Hadits diatas daif karena al Hakam bin Abdul Malik seorang daif, tetapi dalam sanad lain riwayat Ibn Huzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi dikalangan tabi’in melalui Su’bah dari Qatadah. Maka hadits di atas naik derajatnya menjadi hadits hasan lighairih. Para muhadditsin, fuqaha’ serta ulama’ Ushul sepakat bahwa hadits hasan dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. C. Kesimpulan Banyaknya hadits palsu yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw. Mendorong para ulama’ membukukan menjadi satu, mencontoh dari latar belakang pembukuan al Qur’an, sehingga para ulama hadits mengkualifikasikan hadits-hadits yang telah tersebar luaskan. Hal ini untuk menjaga dan membedakan antara hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Dan akhirnya para ulama’ menggolongkan hadits menjadi 2 yakni, hadits yang diterimah sebagai sumber dari hukum Islam dan hadits yang tidak layak menjadi sumber hukum Islam. Hadits yang telah diterimah kehujahannya sebagai salah satu sumber hukum Islam dibagi menjadi 4 jika diperincikan. Yakni hadits shahih lidzati, shahih lighairih, hasan lidzati, dan hasan ligharih. Hadits yang paling tinggi derajatnya adalah hadits lidzatih, sebab persyaratan yang telah ditetapkan oleh ulama’ hadits terpenuhi, meliputi sambungnya sanad, perawih yang adil, bersifat dhabith, tidak ada illat dan tidak ada kejanggalan di dalamnya. Sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah hadits hasan lighairih, sebab hadits ini bias saja masuk ke dalam hadits dlaif, jika tidak ada periwayatan lain yang telah menguatkannya. Tetapi mayoritas ulama’ telah sepakat, bahwa 4 macam hadits diatas bisa di buat sebagai hujah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Dr. Muhammad Thuhan, Taisir Mushthalah al Hadits, Al Hidayah, Surabaya.tth. Hudlari Bik, Tarikh Tasrikh, Dar al Ikhya’, Jakarta, tth. Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhari, Maktabah al Ashriyah, Bairut, 2004. Syamsudin Muhammad, Fath al Mugits fi Syarh Al fiyah Al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, bairut. 1993

Tidak ada komentar: