Kamis, 16 Agustus 2012

KONSEP NEGARA ISLAM


KONSEP NEGARA ISLAM*

Sering kita mendengar dan menyaksikan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, dengan berbagai serangkain serangan yang dilancarkan oleh kalangan yang mengatasnanamakan  gerakan salafi-yakni gerakan yang mengajak kembali kepada Islam pada periode pertama- mereka melancarkan berbagai serangan, mulai dari serangan tempat hiburan sampai dengan serangan tempat ibadah. Demikian, karena mereka menganggap bahwa aksi yang mereka lakukan adalah aksi jihad, dengan mengusung selogan “ Pendirian Negara Islam di tanah NKRI”.
Tidak hanya aksi teror yang telah disiapkan untuk menciptakan suatu negara Islam, namun dengan aksi pengumpulan massa yang terorganisir yang meneriakan pembaharuan atau pemurnian agama yang berujung dengan pendirian Dar al Islam, dengan semangat juangnya mereka mengajak kepada seluruh umat Islam membangun sebuah negara Islam.
Serangkaian peristiwa di atas, sangatlah menarik untuk dibahas, sehingga kita akan memulai dengan satu pertanyaan, apakah Islam mempunyai konsep negara? Sehingga dalam perkembangannya yang tidak mengakui atas pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Penulis berpendapat atas pertanyaan yang dikemukakan di atas dengan mengatakan, konsep negara Islam tidak pernah diketemukan dalam pendapat yang baku dalam dunia Islam. Sampai saat ini pun para pakar ilmu tidak dapat memberikan rumusan konsep negara Islam, karena, Pertama, dalam Islam, estafet kepimimpinan tidak dijelaskan secara baku, bagaimana dan siapa pemimpin yang harus diangkat. Sejarah mengatakan bahwa, Rosululloh Saw. digantikan oleh Abu Bakar, dengan menunggu sampai 3 hari paskah wafatnya Rosululloh yang akhirnya kaum muslimin yang diwakili oleh kepala suku memberikan prasetia/bai'at.
Kemudian, estafet kepimimpinan dilanjutkan oleh Umar bin Khatab dengan cara legitimasi Abu Bakar sebelum wafat. Ketika peristiwa penusukan atas Umar oleh Abu Lu'luah, Umar memberikan mandat kepada 7 orang - yang kita kenal dengan istilah Ahli Halli Wa al Aqdi - agar bermusyawarah mencapi mufakat memilih penerus dari kepemimpinan, kesepakatan itu meloloskan nama Utsman Ibn ‘Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan.
Dalam sejarah, kepemimpinan Utsman dilanjutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib, pada saat itu, Abu Sufyan telah mempersiapkan anak cucunya sebagai pengganti dan penerus kepimpinan, yang pada akhirnya muncul sistem hirarki yang menurunkan calon-calon raja sampai dengan masa khlolifah Usmaniyyah/ottoman empire. Sistem kepemimpinan yang terakhir itulah yang dianggap oleh "Islam Politik" sebagai prototype pemerintahan yang harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah "formula Islami".
Kedua, ketidak jelasan atas ukuran konsep negara Islam. Dalam sejarah, setelah wafat, Nabi tidak mewariskan sebuah aturan yang baku tentang bentuk pemerintahan bagi muslimin. Di masa Umar, Islam mengalami perkembangan sangat pesat, yang munguasai mulai dari Pantai Timur Atlantik hingga Asia Tenggara (haikal, 2007) ternyata juga tidak jelas apakah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja, atau Negara-Bangsa (nation state) ataukah Negara-Kota (city state) yang menjadi konseptualnya.
    Dari dua alasan diatas, kita dapat memberikan sebuah kesimpulan, bahwa tidak adanya koseptual dalam pembentukan negara Islam, sebab jika mengemukakan gagasan negara Islam tanpa adanya konseptualnya, maka akan menimbulkan sebuah perbedaan pandangan para pemimpin Islam. Seperti di Negara Iran, aliran moderat versus konservatif, yang saling berbeda pendapat tentang dasar-dasar negara Islam. Bahkan kalau kita kembangkan, jika konsep negara Islam diterapkan, maka kita akan bertanya, jenis Islam yang manaka yang diterapkan dalam negara Islam, apakah Islam Sunni (mayoritas umat islam) ataukah yang lainnya yang harus diterapkan? Sehingga akan memunculkan diskriminasi atas paham-paham lainnya.
Oleh sebab itu, dalam akhir tulisan, kami dapat memberikan kesimpulan, bahwa gagasan negara Islam yang telah dikoar-koarkan oleh sebagaian umat Islam yang mengatas namakan pemersatu umat Islam atau pembahru adalah sesuatu yang tidak memiliki konseptual, mereka hanya memandang Islam  dari sudut institusionalnya belaka.


*Abdul Hari, S. HI

Tidak ada komentar: